I.
PENDAHULUAN
Johannes
Calvin adalah seorang pemimpin reformasi di Genewa dan sangat unggul di
kalangan teologi-teologi reformed. Awalnya, ayahnya mempersiapkannya untuk
menjadi seorang imam, karena itu ia dikirim ke Paris untuk mempersiapkan diri
untuk masuk fakultas teologi (1523-1528). Tetapi karena terjadi perselisihan
antara ayahnya dengan keuskupan Noyon, sehingga Calvin dipindahkan ke Orlean
dan sesudah itu ke Bourges untuk belajar hukum. Tetapi pada tahun 1531 ia
kembali ke Paris untuk belajar bahasa Yunani, Latin dan Ibrani, serta
kesusastraan. Akan tetapi kehidupan religiusnya telah bertumbuh dan berkembang
sebelum ia berumur 25 tahun. Pada tahun 1558, ia mengungkapkan pengalaman
rohaninya dengan pernyataan: “God by a sudden conversion subdued my heart to
teachableness.”[1]
Teologi
Calvin berpusat pada kemuliaan Allah (gloria Dei) sebagai tujuan utama dari
segala-galanya, baik untuk Allajh maupun untuk manusia. Di dalam hidupnya, ia
selalu menghadirkan Allah dalam pengertian pengertian dan perasaannya, yang
menerima penyembahan dan pelayanannya, yakni Pencipta segala sesuatu. Allah
yang menjadi sumber kebenaran dan kekuatan manusia, Penyelamat dan yang
mengilhami pemilihan-Nya terhadap orang-orang pilihan.
Berhubungan
dengan penekanan pada kemuliaan Allah, Calvin sangat menekankan kelahiran baru
(regeneratio) atau pengudusan (santificatio) yang harus menyertai pembenaran
(justificatio) orang berdosa. Menurutnya, manusia yang dibenarkan wajib
menampakkan imannya dalam perbuatan-perbuatan yang berkenan kepada Allah,
sehingga pengudusan orang percaya bukan merupakan suatu pemberian yang
menyertai pembenaran orang percaya, tetapi suatu anugerah khusus dari Allah
bagi orang-orang yang juga telah dibenarkan-Nya.
Di dalam
tulisan ini, penulis akan membahas “relasi antara pembenaran dan pengudusan
orang percaya”. Untuk mencapai tujuan penulisan ini, maka penulis memberikan
beberapa pertanyaan penuntun dalam pembahasan tema ini. Pertama, bagaimanakah
pandangan Calvin tentang pembenaran dan pengudusan? Kedua, bagaimanakah relasi
antara keduanya dalam kehidupan orang percaya? Ketiga, dalam hal apakah
pembenaran dan pengudusan itu menjadi nyata dalam kehidupan orang percaya?
II.
PENGERTIAN CALVIN TENTANG PEMBENARAN DAN PENGUDUSAN
A.
Pengertian Calvin Tentang Pembenaran
Calvin
mendefinisikan pembenaran sebagai
suatu
penerimaan yang melaluinya Allah menerima kita ke dalam kasih karunia-Nya dan
menghargai kita sebagai pribadi yang benar; pembenaran ini terdiri atas
penghapusan dosa dan pembenaran di dalam Kristus. Pembenaran orang percaya
merupakan tindakan sukarela Allah, yang dengannya Ia bermurah hati untuk
mengampuni semua kejahatan kita.[2]
Di dalam
Institutes Calvin memahami pembenaran tindakan Allah di dalam Kristus yang
membenarkan dan menguduskan orang percaya. Ia menyatakan,
Christ given
to us by the kindness of God is apprehended and possessed by faith, by means of
which we obtain in particular a twofold benefit: first, being reconciled by the
righteousness of Christ, God becomes, instead of a judge, an indulgent Father;
and, secondly, being sanctified by his spirit, we aspire to integrity and
purity of life.[3]
Di dalam
pandangan Calvin, pembenaran dapat menjadi lebih bernilai di dalam hubungannya
dengan kemurahan Allah dimulai dari waktu pemanggilan orang-orang percaya
sampai kepada kematiannya. Di dalam hal ini, ia menunjuk kepada kebenaran
Kristus yang diperhitungkan sebagai kebenaran orang percaya, di mana melaluinya
kita dijauhkan dari penderitaan dan penghukuman Allah. Sehingga dengan
demikian, kita tidak lagi dipandang sebagai orang yang berdosa, tetapi orang
benar karena Kristus.[4]
Dengan
demikian pengertian Calvin mengenai pembenaran mengandung dua aspek, yaitu
pertama, orang percaya menjadi diperdamaikan oleh pembenaran Kristus, di mana
Allah berdiri sebagai, dari seorang hakim, menjadi seorang Bapa yang pemurah.
Ia menghapuskan dosa manusia berdosa dan menjadikan mereka benar karena
kebenaran Kristus. Selanjutnya, orang percaya menjadi dikuduskan oleh Roh-Nya,
sehingga hidupnya dijadikan sempurna dan murni.
B.
Pengertian Calvin Tentang Pengudusan
Calvin
memandang pengudusan sebagai suatu perubahan yang sungguh-sungguh dalam hidup
kita kepada Allah, yang merupakan tindakan mematikan keinginan daging dan
manusia lama, dan hidup dalam pimpinan Roh. Pengudusan sama dengan
pengetahuan
tentang Allah. Pengetahuan yang tidak hanya bersifat presiensi, tetapi juga
predestinasi, yang mana di dalamnya Allah memilih setiap orang sebagai individu
menurut kehendak-Nya sendiri.[5]
Pengudusan
dalam pandangan Calvin berarti perubahan sikap atau tindakan manusia dari hidup
menurut daging dan manusia lamanya kepada pimpinan Roh Kudus. Di dalam
pengudusan itu nyata tindakan Allah yang memilih dan menguduskan orang percaya
menurut kehendak-Nya sendiri. Atau dengan kata lain, Calvin berbicara tentang
kelahiran baru (regeration).
Di dalam
Institutes ia menyatakan, “…the object of regeneration is to bring the life of
believers into concord and harmony with the righteousness of God, and so
confirm the adoption by which they have been received as sons…the image of God
is restored in us.”[6]
II. RELASI
ANTARA PEMBENARAN DAN PENGUDUSAN
Ketika
menafsirkan 1 Kor. 1:30 Calvin, sebagaimana yang dikutip oleh Francois Wendel,
menemukan suatu benang merah yang menunjukkan adanya relasi antara pembenaran
dan pengudusan orang percaya. Ia menyatakan, “When it is said (1 Cor. 1:30),
that Christ is made unto us redemption, wisdom and righteousness, it is also
added that he is made our sanctification. From this it follows that Christ
justifies us; he sanctifies us.”[7] Wendel juga mengatakan bahwa di dalam pandangan
Calvin, pembenaran dan pengudusan merupakan dua anugerah yang memiliki nilai
yang sama.[8]
Lebih
lanjut, Calvin memandang bahwa baik pengudusan maupun pembenaran merupakan
anugerah Allah dalam persekutuan dengan Kristus yang terwujud ketika manusia
percaya kepada Kristus. Iman sebagai karya Roh Kudus telah menciptakan hubungan
antara manusia dan Kristus yang membuat manusia dibenarkan di hadapan Allah.[9] Bagi
Calvin, pembenaran dan pengudusan merupakan akibat langsung dari penyatuan
orang-orang percaya ke dalam Kristus. Ketika seorang percaya dipersatukan
dengan Kristus melalui iman, maka di satu sisi dan pada saat yang sama, dapat
diterima dalam penglihatan Allah (pembenaran) dan dimasukan ke dalam perubahan
kehidupan moral (pengudusan).[10]
Calvin
memahami bahwa pembenaran orang percaya merupakan anugerah Allah, di mana
Kristus mati bagi kita dan membebaskan kita dari kutuk dan penghakiman yang
diletakkan di atas kita. Dengan menanggung semua dosa kita yang ditimpakan ke
atas-Nya, Ia terangkat ke surga dan duduk di sebelah kanan Bapa, menjadi
pengantara bagi kita. Kristus menempatkan diri-Nya di depan kita, melindungi,
membenarkan, dan memerdekakan kita.[11]
Di dalam
menjelaskan pandangan Calvin tentang pembenaran orang percaya, Wendel
mengatakan bahwa “pada waktu kita berbicara mengenai keberadaan kita yang
dibenarkan di hadapan Allah, kita menerimanya hanya dalam anugerah-Nya,
sehingga kita dijadikan sebagai orang benar. Angerah Allah itu terdiri atas
pengampunan dosa dan pembenaran karena kebenaran Kristus yang diperhitungkan
kepada kita.”[12] Kebenaran Kristus ditambahkan kepada kita pada saat kita
dipersatukan dengan Kristus dan pada saat yang sama menjadi anggota tubuh-Nya.
Dan keduanya merupakan satu aspek anugerah yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Dalam hal ini Calvin menyatakan bahwa pembenaran dari iman
adalah kebenaran Kristus, bukan kebenaran kita sendiri, tetapi kita
diperhitungkan benar karena kebenaran Kristus ditambahkan kepada kita pada
waktu keberdosaan kita ditimpakan kepada-Nya. jadi kita tidak mungkin
dibenarkan, kecuali karena kebenaran Kristus dalam iman.[13]
Calvin
selalu melihat pembenaran dari sudut pandang karya Allah di dalam Kristus, yang
melaluinya manusia dijadikan benar, sehingga tidak ada sedikitpun jasa atau
usaha manusia di dalamnya. Secara nyata Calvin melihat pembenaran sebagai
tindakan kemurahan Allah, yang dalam Kristus telah memilih dan menetapkan
orang-orang pilihan sebelum dunia dijadikan. Ia menyatakan, “We are now
righteous in him, no that we satisfy the judgment of God by our works, but
because we are considered according to the righteousness of Christ which we
have put on by faith, in order that it might be made ours.”[14]
Kita
dibenarkan bukan karena perbuatan kita, karena tidak mungkin kita dibenarkan
atau dapat dibenarkan oleh perbuatan kita. Tetapi hanya karena Kristuslah kita
dijadikan benar. “Kristus di dalam realitas-Nya membenarkan kita tanpa kita dan
Ia berdiam, bekerja dan memprakarsai dalam kita sebagai pemberi hidup yang baru
bagi kita.”[15]
Calvin
mengajarkan bahwa anugerah iman itu selalu bersifat rangkap, yang terdiri atas
pembenaran orang berdosa dan pembaharuan hidup yang tampak dalam
perbuatan-perbuatan yang berkenan kepada Allah.[16] Ia memandang pembenaran Allah di
dalam Kristus sebagai realitas yang menyelamatkan, dan pengudusan sebagai
anugerah yang menjadikan manusia berkenan kepada Allah. “When God, after having
taken man out of such a pit of perdition, has sanctified him by the grace
of adoption, because he has regenerated and reformed him in a new life, he also
receives and embrances him as a new creature with the gifts of the Spirit.”[17]
Secara tegas
ia menyatakan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kesempurnaan dalam usahanya
untuk melakukan kehendak Allah. Di sini dapat dilihat bahwa ajaran tentang
pembenaran justru menyadarkan orang percaya bahwa mereka tetap orang berdosa
yang masih membutuhkan anugerah Allah. Karena itu dengan melihat kepada anugerah
Allah, orang percaya seharusnya mencurahkan segala perhatian kepada pengudusan
dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dosa dan menaat perintah-perintah
Allah. Di dalam Calvin’s Commentaries dalam menafsirkan Roma 6:19, ia
menyatakan, “I understand the law and the rule of righteous living, the purpose
of which is sanctification, so that believers may consecrate themselves in
purity to the service of God.”[18]
Melanjuti
pernyataan di atas, Calvin menyatakan, “From righteousness we gather the fruit
which is bears in this life, viz. sanctification. For the future, we hope for
the eternal life.”[19] Ia mengatakan bahwa gambar dan rupa Allah yang
kudus dan benar dilahirkan kembali dalam diri kita untuk mempersiapkan kita
bagi hidup kekal dan kemuliaan.
Di dalam
Institutes Calvin menunjuk kepada penyesalan dan pengampunan dosa, ketika
berbicara tentang tindakan Allah yang membenarkan umat-Nya secara cuma-Cuma.
Dan pada saat yang sama, Allah juga memperbaharui setiap orang percaya kepada
kesucian yang sesungguhnya melalui pengudusan yang dikerjakan oleh Roh-Nya.[20]
Menurut John
H. Leith[21], pemikiran Calvin tersebut dapat disimpulkan dalam dua pokok,
yaitu pertama, antara pembenaran dan pengudusan, keduanya tidak dapat
dipisahkan. Iman tidak pernah dihubungkan dengan Allah tanpa karunia
pengudusan, karena pada akhirnya setiap orang akan dibenarkan dan menyembah
Allah dalam hidup yang kudus. Kristus telah membersihkan orang percaya dengan
darah-Nya dan telah mendamaikan mereka dengan Allah. Dan Ia juga telah
memberikan tempat bagi mereka di dalam Roh-Nya yang membaharui mereka ke dalam
hidup yang suci.[22]
Ia
menyatakan, “iman tidak memiliki arti pada dirinya sendiri, karena iman
mendapatkan nilainya hanya di dalam Yesus Kristus. Kita bisa berkata bahwa iman
membenarkan, di mana bukan seperti yang dinyatakan sebagai kebenaran bagi kita
dari eksistensinya sendiri, tetapi karena iman sebagai instrumen yang
melaluinya kita mendapatkan dengan cuma-cuma kebenaran Kristus.”[23] Dan
melalui iman di dalam Kristuslah Allah membenarkan dan menguduskan orang
percaya.
Kedua,
karunia pembenaran dan pengudusan tidak dapat dikaburkan atau menjadi keliru.
Para Bapa gereja di Trent melihat pembenaran dalam dua sisi, yaitu seseorang
dibenarkan secara terpisah dari pengampunan dosa dan dari kelahiran baru. Dalam
menanggapi pandangan ini Calvin menyatakan bahwa,
hanya ada
satu pembenaran yang secara sederhana dan penuh dimasukkan ke dalam penerimaan
anugerah Allah yang dinyatakan tanpa usaha manusia, karena manusia dibenarkan hanya
dalam Kristus. Hubungan antara pembenaran dan pengudusan selalu dinamis dan
vital. Pembenaran memberikan dasar yang sesungguhnya di dalam pertumbuhan hidup
orang Kristen. Calvin memandang bahwa hanya kepercayaan (confidence) yang
berasal dari pengalaman dibenarkan karena iman saja yang dapat dijadikan
sebagai satu-satunya dasar yang memungkinkan bagi pengudusan yang sebenarnya.[24]
Di dalam
dirinya sendiri, manusia tidak akan mungkin diselamatkan dan dibenarkan secara
moral di hadapan Allah. Hanya di dalam anugerah dan kebenaran Kristuslah maka
seseorang diselamatkan dan dibenarkan dihadapan Allah. Sehingga dengan
demikian, kehidupannya yang telah dibenarkan itu dapat diperhitungkan sebagai
hidup dalam kekudusan Tuhan.
Senada
dengan pemikiran di atas, Calvin menyatakan,
The manner
of their justification must of necessity be very different from that of their
renovation to newness of life. For the latter God commences in his elect, and
as long as they live carries on gradually, and sometimes slowly… He justifies
them, however, not in a partial manner, but so completely, that they may boldly
appear in heaven, as being invested with the purity of Christ.[25]
III.
RELEVANSI PEMBENARAN DAN PENGUDUSAN
Di dalam
merelevansikan pembenaran dan pengudusan itu di dalam kehidupan seorang
percaya, Calvin berangkat dari pernyataan, “kita harus kudus, karena Allah kita
kudus” (Im. 19:1; 1 Pet. 1:16).[26] Ada beberapa aspek yang diuraikan Calvin
berkaitan dengan pemikiran ini.[27]
A. Hidup
dalam Meneladani Kristus
Allah telah
mendamaikan kita dengan diri-Nya di dalam Kristus, maka di dalam Kristus pula
telah ditentukannya gambar kita yang dikehendaki-Nya, menjadi teladan yang
harus diikuti. Di dalam keberadaan kita yang berdosa, Kristus telah menjadi
pengantara sehingga kita kembali berkenan kepada Allah dan Kristus menjadi
teladan bagi kita supaya wujud-Nya terungkapkan di dalam kehidupan kita.[28]
Di dalam
pemikiran hidup meneladani Kristus, Calvin melihatnya dari pemikiran Paulus
mengenai “menjadi serupa dengan Kristus” (to the image of Christ). Dalam
pemikiran ini, ia melihat bahwa hidup menjadi serupa dengan Kristus menyatakan
suatu hidup orang percaya yang didasarkan pada hidup dan teladan nyata dari
Kristus, dimana setiap orang percaya “memikul salibnya” dalam mengikut Tuhan.[29]
Kristus
telah meninggalkan suatu teladan bagi kita, supaya kita menjadi serupa
(imitation) dengan-Nya. Calvin menyatakan bahwa menjadi serupa atau meneladani
Kristus di sini bukan dengan melakukan seperti yang Yesus lakukan, melainkan
dalam hal kuasa-Nya yang telah Ia berikan kepada kita. Meneladani Kristus lebih
dimengerti sebagai tindakan iman kita bahwa melalui kematian dan kebangkitan
dengan Kristus kita akan hidup bersama-sama dengan-Nya (Rm. 8:29).[30]
B. Hidup
dalam Kekudusan yang Sesungguhnya
Calvin
mendasarkan pemikiran ini dengan melihat kepada anugerah Allah yang Kudus yang
telah membenarkan dan menguduskan orang percaya. Ia menyatakan,
If the Lord
adopts us for his sons on the condition that our life be a representation of
Christ, the bond of our adoption, - then, unless we dedicate and devote
ourselves to righteousness, we not only, with the utmost perfidy, revolt from
our Creator, but also abjure the Savior himself.[31]
Dengan
mendasarkan kepada pemikiran di atas, Calvin menyatakan bahwa yang menjadi
tujuan akhir dari tindakan seorang percaya bukanlah kesempurnaan dari yang ia
lakukan, melainkan kesungguhan di dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Ia mengatakan,
Hendaklah
kesempurnaan itu menjadi tujuan yang terbayang di mata kita, agar hanya itulah
yang kita usahakan dengan tekun. Hendaklah itu dijadikan garis akhir bagi kita,
yang menjadi sasaran dalam kita berupaya dan berlomba… Sebab yang pertama
dianjurkan Allah sebagai bagian terpenting pengabdian kepada-Nya ialah
ketulusan;… kebulatan hati yang sungguh-sungguh ikhlas, yang tidak kenal tipu
dan pura-pura, dan yang lawannya ialah hati yang mendua; seakan-akan dikatakan
bahwa hidup lurus mempunyai asas yang bersifat rohani, yaitu bahwa perasaan
hati dan batin kita tanpa berpura-pura dibaktikan kepada Allah untuk melakukan
kesucian dan kebenaran.[32]
Calvin
memandang kehidupan yang telah dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah sebagai
kehidupan yang harus diusahakan dengan sungguh-sungguh, di mana seorang Kristen
dituntut untuk sungguh-sungguh hidup dalam ketulusan dalam mengikuti Tuhan.
Di sisi yang
lain, Calvin juga sangat menegaskan bahwa tidak mungkin manusia mencapai
kesempurnaan dalam usahanya untuk melakukan kehendak Allah, tetapi ia juga
memandang bahwa ajaran tentang pembenaran justru menyadarkan orang percaya
bahwa mereka tetap berdosa dan memerlukan anugerah Allah. Dan karena mereka
telah dibebaskan dari kekhawatiran mengenai keselamatan, mereka dapat
mencurahkan segala perhatian kepada pengudusan dan berusaha sekuat tenaga untuk
menghindari dosa dan menaati perintah-perintah Allah.”[33]
C. Memandang
Hidup Sebagai Milik Allah
Di dalam
bagian ini, Calvin menyoroti kehidupan Kristen yang telah dibenarkan dan
dikuduskan dari sisi ketaatan dalam melakukan hukum Allah. Hukum Taurat menjadi
pedoman
untuk manusia yang dibenarkan dan dibebaskan dari hukuman Allah, supaya ia
dapat mengatur kehidupannya yang baru sesuai dengan kehendak Allah. Hukum
Taurat bagi orang yang dibenarkan bukan suatu paksaan tetapi suatu karunia
Allah, yang diterima dan ditaati dengan rasa gembira dan terima kasih.[34]
Calvin
mengutip dari Roma 12:1 dengan mengatakan, orang-orang percaya wajib
mempersembahkan tubuh mereka kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, yang
kudus dan yang berkenan kepada-Nya. Ia juga memandang bahwa kita bukan
kepunyaan kita sendiri (1 Kor. 6:19), melainkan kepunyaan Tuhan. seorang
percaya seharusnya memandang dirinya sebagai:
Kita bukan
kepunyaan kita sendiri: maka jangan sampai akal atau kehendak kita menguasai rencana
dan perbuatan kita. Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka janganlah kita
menentukan usaha mencari apa yang berguna menurut daging kita sebagai tujuan
kita. Kita bukan kepunyaan kita sendiri: maka hendaknya kita sedapat mungkin
melupakan diri kita sendiri dan samua perkara kita. Sebaliknya, kita kepunyaan
Allah: maka sebaiknya kita mengabdi kepada Dia dalam kehidupan dan dalam
kematian kita. kita kepunyaan Allah: maka sebaiknya Dialah, sebagai
satu-satunya tujuan yang benar, yang dituju semua bagian kehidupan kita (Rm.
14:8).[35]
D. Hidup
Untuk Melayani Allah.
Di dalam
menafsirkan Roma 6:19 Calvin menyatakan bahwa tujuan hidup Kristen yang telah
dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah adalah untuk melayani Allah. Ia memandang
keberhasilan dan kesejahteraan kita sebagai yang bergantung pada berkat Allah.[36]
Sehingga dengan demikian tiap-tiap orang harus memperhatikan panggilan Tuhan
dalam setiap perbuatan kita, karena Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban
bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing.
Calvin
meyakini bahwa setiap orang percaya yang telah dibenarkan dan dikuduskan oleh
Allah dipanggil untuk melakukan perbuatan baik yang datangnya dari Allah juga.
Ia menyatakan, “We must look to Paul’s design. He intends to show that we have
brought nothing to God, by which He might be obliged to us; he shows that even
the good works which we do have come from Him.”[37]
Calvin
memandang Allah sebagai pribadi yang memanggil manusia untuk terlibat dalam
pekerjaan-Nya. Semua karunia dan bakat merupakan kekuatan kita yang
dipercayakan
kepada kita oleh Allah dengan syarat supaya dipergunakan untuk melayani-Nya dan
sesama. Kita menjadi penyelenggara akan segala sesuatu yang diberikan Allah
kepada kita dan kita wajib memberikan pertanggungan jawab mengenai
pengurusannya kepada Allah.
IV.
KESIMPULAN
Pembenaran
dan pengudusan merupakan karya Allah yang esensial di dalam kehidupan orang
percaya. Ketika seseorang dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah, maka seharusnya
ia juga menyadari bahwa hidupnya haruslah difokuskan kepada Allah yang menjadi
pemilik dari hidupnya. Dengan demikian, bukan lagi berfokus kepada
keberadaannya sebagai manusia, melainkan kepada Allah yang telah mengerjakan
pekerjaan yang sempurna dalam hidupnya. Sehingga dengan demikian, baik hidup
maupun kebenarannya diarahkan untuk melayani dan untuk memuliakan Tuhan.
Statement Calvin, Soli Deo Gloria.
[1]J.T.
McNeil, “Calvinism, Calvin”, dalam The WestminsterDictionary of Christian
Theology, (ed.) Alan Richardson dan John Bowden (Philadelphia: The Westminster Press, 1983), 79.
[3]John
Calvin, Institutes of the Christian Religion, vol. 3, (Terj.) Henry Beveridge
(Grand Rapids: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 36.
[6]Calvin,
Institutes of the
Christian Religion, 2.
[8]Ibid.,
155 dan Karl Barth, The Theology of John Calvin, (Terj.) Geoffrey W. Bromiley (Grand Rapids:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1995), 276.
[10]Alister
E. McGrath, A Life of John Calvin (Cambridge: Basil Blackwell, 1990), 166.
[21]John H.
Leith, John Calvin’s Doctrine of the Christian Life (Louisville: Westminster/John Knox Press,
1989), 95-96.
[26]Yohanes
Calvin, Institutio Pengajaran
Agama Kristen, Terj. Winarsih, J.S. Aritonang, Th. Van den End (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000), 148.
[31]Calvin,
Institutes of the
Christian Religion, 3-4.
[37]John
Calvin, Calvin’s Commentaries, The Epistles of Paul the Apostle to the Galatians,
ephesians, Philippians, and Colossians, (Terj.) T.H.L. Parker (Grand Rapids:
Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1993),146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar