Pendahuluan
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Sebagai
gambar dan rupa Allah manusia diciptakan menjadi ciptaan yang unik yang
memiliki kehendak bebas untuk melakukan apa yang dikehendakinya. Akan tetapi
setelah manusia jatuh dalam dosa kehendak bebas itu telah tercemar dan bukan
saja tercemar tapi manusia menjadi budak dosa dan hidup dalam dosa.
Dengan melihat kepada natur manusia yang telah dikuasai oleh
dosa tersebut, timbul beberapa pertanyaan, Apakah manusia masih memiliki
kehendak bebas? Apakah natur kehendak bebas manusia sebelum kejatuhan sama
dengan sesudah kejatuhan? Seperti apakah kehendak bebas manusia setelah
kejatuhan?
Di dalam tulisan ini kami mencoba menghadirkan pemikiran
Luther mengenai kehendak bebas manusia baik sebelum kejatuhan maupun setelah
kejatuhan.
Pandangan Luther Tentang Kehendak Bebas Manusia
Pemahaman Luther tentang kehendak bebas manusia tidak bisa
kita lepaskan dari pemahamannya tentang dosa dan anugerah. Seseorang yang
mengerti masalah dosa dan anugerah secara penuh akan memahami peranan kehendak
bebas dalam keselamatannya. Akan tetapi jika ia tidak mengerti akan masalah
dosa dan anugerah, maka ia pun akan kurang mengerti masalah kehendak bebas
manusia. Luther telah mengalami pergumulan untuk lepas dari dosa, tapi ia
merasa tidak mampu. Walaupun ia sudah menjalani hidup sebagai seorang biarawan
secara ketat dan menyiksa diri, tapi hati nuraninya tetap menuduhnya sehingga
hidupnya tidak tenang.
Dalam membahas masalah kehendak bebas manusia, kita tidak
boleh melepaskan pembahasan ini dari perdebatan yang terjadi antara Luther dan
Erasmus. Erasmus mengatakan bahwa sebelum kejatuhan, manusia diperlengkapi
dengan natural powers (khususnya akal budi dan kehendak bebas) dan supernatural
gift of grace. Dan melalui kedua karunia ini, manusia mampu untuk mengenal dan
melakukan kebaikan. Di dalam kedua karunia ini manusia diberikan kebebasan
untuk memilih antara yang baik dan yang jahat, juga ia dapat memilih untuk
mentaati atau tidak mentaati Allah. Akan tetapi pada saat kejatuhan ia memilih
untuk tidak mentaati Allah, akibatnya ia kehilangan supernatural gift dan yang
tertinggal hanya natural power.[1]
Selanjutnya, Erasmus berpendapat bahwa dosa telah mengurangi
atau mengganggu kehendak bebas manusia. Akal budi dan kehendak bebas manusia
mungkin telah tercemar, bahkan terkorupsi, tetapi tidak rusak. Kehendak manusia
telah teganggu dan tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga manusia selalu
melakukan yang hal-hal yang bersifat daging, meskipun tidak sepenuhnya bersifat
daging. Ia juga mengatakan bahwa, secara natur manusia masih tetap terdiri atas
daging dan roh dengan jiwa yang bergantung di antara keduanya. Karena itu
manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tetap mempunyai kapasitas untuk mengenal
dan mentaati Allah.[2] Karena itu menyatakan bahwa manusia dengan dirinya
sendiri dapat diselamatkan tanpa anugerah khusus, karena manusia tidak
mengalami kerusakan yang total, tetapi hanya sebagian saja. Manusia dalam
dirnya masih memiliki kemampuan untuk mendapatkan Tuhan dan menerima
keselamatan dengan usahanya sendiri. Manusia tetap memiliki peran aktif dalam
usaha untuk mendapatkan keselamatan, karena manusia memiliki pilihan bebas.[3]
Sebaliknya, pemahaman Luther tentang kehendak bebas berbeda
dengan Erasmus dan tampaknya pemikiran Luther dipengaruhi oleh pandangan
Agustinus. Dalam pemahaman Agustinus tentang kehendak bebas tidak bisa
dilepaskan dari pemahamannya tentang dosa. Menurutnya, dosa bukanlah sesuatu
yang positif, tapi negatif. Dosa berarti berkurangnya kebaikan dan akar dari
dosa adalah self-love yang menggantikan kasih kepada Tuhan. Kehendak manusia
pada dasarnya bebas dan dosa adalah gerakan dari kehendak bebas itu. Dosa tidak
hanya membawa kematian bagi manusia, tetapi juga kehendak untuk melakukan dosa
baru. Tidak ada seorangpun yang dengan kemauannya sendiri dapat melepaskan diri
dari rentetan kejahatan dosa dan kehendak untuk berbuat dosa. Dari pemikiran
ini, Agustinus mengembangkan 3 analogi penting mengenai dosa: dosa sebagai
penyakit (disease), sebagai kuasa (power), dan sebagai kesalahan atau
pelanggaran (guilt).[4]
Analogi yang pertama membicarakan dosa sebagai penyakit yang
turun temurun, analogi kedua membicarakan dosa sebagai kuasa yang menawan
manusia. Kebebasan manusia telah ditawan oleh kuasa dosa dan hanya bisa
dilepaskan oleh anugerah Allah. analogi ketiga membicarakan dosa sebagai suatu
konsep yang bersifat forensik yaitu kesalahan. Menurutnya lagi, sebelum
kejatuhan Adam mempunyai 2 kemampuan yakni kemampuan untuk berbuat dosa dan
kemampuan untuk tidak berbuat dosa. Tapi setelah kejatuhannya, Adam mempunyai
kemampuan untuk berbuat dosa dan ketidakmampuan untuk tidak berbuat dosa.
Karena seluruh manusia terwakilkan dalam diri Adam, maka seluruh manusia telah
berada di bawah kuasa dosa. Dan kebebasan manusia yang di luar Kristus adalah
kebebasan untuk berbuat dosa.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Luther walaupun
penjelasannya berbeda dengan Agustinus, tapi inti idenya sama. Luther
mengatakan bahwa sebelum kejatuhan, manusia bergantung sepenuhnya pada Tuhan,
dan manusia harus meresponinya dengan iman di dalam kesetiaan dan ketaatannya
kepada Tuhan. Hubungan ini, menurut Luther adalah hubungan yang alamiah dari
manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan penciptanya. Dalam keadaan ini, akal
manusia dan kehendaknya diterangi dan dipimpin oleh Roh Allah, sehingga ia
dapat mengenali Allah sebagai Bapa Sorgawi dan mentaati perintah-perintah-Nya
dengan kesetiaannya sebagai anak. Sebagai seorang anak yang taat, manusia tidak
memiliki keinginan, hanya ketaatan. Ia selalu melakukan kehendak Allah, karena
ia tidak memiliki keinginan di dalam dirinya sendiri yang terlepas dari
kehendak Allah. Dan karena Roh Allah adalah Roh kasoh, maka manusia dalam
hubungannya dengan Allah, secara bebas dan spontan meresponi kasih ilahi
itu.[5]
Sebaliknya, setelah kejatuhan, manusia jatuh ke dalam
cengkraman iblis yang mendorongnya untuk mendeklarasikan kemerdekaannya dari
Allah. Kemerdekaan yang dalam pengertiannya sendiri bahwa ia telah memerdekakan
diri dari Allah, karena ia tidak lagi berfokus kepada kehendak Allah, tetapi
kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, manusia dengan kebebasannya lebih memilih
iblis daripada Allah. Dengan kejatuhan ini, manusia tidak lagi berdiri sebagai
sekutu Roh Allah, tetapi penentang Roh Allah. Manusia telah berbalik dari
percaya kepada Allah menjadi tidak percaya, mengubah hubungannya yang benar dan
suci dengan Allah menjadi hubungan yang sepenuhnya salah dan rusak. Dan
kerusakan ini adalah kerusakan total, bukan setengahnya saja, tetapi baik tubuh,
jiwa dan rohnya adalah “daging”.[6]
Sama seperti Erasmus, Luther juga mengakui bahwa kerusakan
itu tidak menghilangkan kemampuan manusia untuk mengenal Allah dan hukum-Nya.
Tetapi sebaliknya, Luther menyatakan bahwa dosa telah merusak akal budi dan kehendak
manusia, sehingga manusia lebih memilih melakukan yang jahat daripada yang
baik. Akibatnya, apa yang ia ketahui tentang Allah dan kehendak-Nya
direfleksikan manusia dari sudut pandang “kacamata pecahnya”. Kehendak Allah
dikesampingkan dan ia bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, sehingga ia
bertindak sewenang-wenang dan kejam. Dan akhirnya manusia terbelenggu dalam
dosa dan dikusai oleh roh jahat, sehingga ia tidak dapat melepaskan dirinya
sendiri.[7]
Setelah kejatuhan, manusia memang masih memiliki kemampuan
untuk menentukan sendiri pilihan bagi hidupnya, tetapi ia tidak dapat
menyelamatkan dirinya, bahkan dengan melakukan kebaikan. Luther mengatakan,
“good works do not make a good man, for they can be done from a bad motive; and
the motivation of fallen man is thoroughly bad.”[8] Bahkan perbuatan baik
karena melakukan hukum Tuhan pun tidak akan menyelamatkan manusia, karena
manusia berdosa dalam seluruh perbuatannya. Tetapi hanya oleh anugerah dan
kasih Allah saja yang dapat membebaskan manusia dari belenggu dosa dan roh
jahat. Setelah itu barulah manusia dapat melakukan hukum itu, yakni hukum
kasih.
Ketika Luther berbicara tentang kasih dan anugerah Allah
yang membebaskan manusia dari dosa, ia tidak memaksudkannya sebagai suatu
kebebasan yang tidak bertanggung jawab, tetapi kebebasan dari perbudakan iblis.
Hal ini bearti bahwa sebagai manusia yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus,
manusia tetap memiliki tanggung jawab kepada Allah.[9] Karena itu yang dimaksud
dengan kebebasan adalah kebebasan sebagai seorang Kristen, kebebasan untuk
menaklukkan kuasa iblis dan kebebasan untuk menaklukkan diri di bawah hukum
Kristus.
Lebih lajut Luther mengatakan bahwa iman kita kepada Kristus
tidak membebaskan kita dari pekerjaan atau perbuatan, tetapi membebaskan kita
dari salah paham mengenai pekerjaan, yaitu anggapan yang bodoh bahwa pembenaran
diperoleh karena perbuatan yang baik.[10] Ia juga mengatakan,
Orang Kristen adalah bebas sepenuhnyadan tidak menjadi hamba
siapapun. Orang Kristen adalah hamba yang setia dari semua orang dan pelayan
dari semua orang… Seluruh Alkitab terdiri dari dua bagian; perintah dan janji…
Janji Allah memberikan apa yang dituntut oleh perintah Allah dan memenuhi apa
yang diharuskan oleh hokum. Jadi segala sesuatu adalah dari Allah, baik
perintah-perintah maupun penggenapannya. Hanya Allah memerintahkan, hanya Allah
yang menggenapkan janji-Nya… Bukankah kita dinamakan menurut Kristus bukan
karena Ia tidak beserta kita, tetapi karena Ia hadir dalam diri kita, yaitu
karena kita percaya kepada-Nya. Kita adalah Kristus bagi sesama kita dan
berlaku seperti Kristus terhadap sesama kita.[11]
Dengan demikian, Luther melihat kebebasan Kristen sebagai
suatu korporasi antara manusia dan Allah. Kerja sama ini bukanlah suatu
prekondisi dari keselamatan seperti yang dikatakan oleh Erasmus, melainkan
konsekuensi atau akibat dari keselamatan itu sendiri. Karena ia telah
diselamatkan, maka ia wajib untuk berbuat baik.
Kesimpulan
Kehendak bebas dapat dimengerti sebagai suatu kemampuan di
dalam diri manusia sebagai suatu kontribusi yang aktif terhadap keselamatannya
dalam menggenapi karya Allah dalam dirinya. Akan tetapi karena kejatuhannya,
manusia tidak dapat memenuhi tugas tersebut. Karena itu Allah menyatakan
anugerah-Nya melalui Yesus Kristus agar konsep manusia yang salah tentang
pekerjaan, sehingga manusia mampu memandang dirinya sendiri sebagai seorang
hamba yang harus senantiasa menaklukkan diri kepada Allah. Seorang hamba yang
diciptakan untuk menggenapi maksud dan rencana Allah bagi dunia ini.
[1]E. Gordon Rupp dan Philip S. Watson (ed.), Luther and
Erasmus: Free will and Salvation (Philadelphia: The Westminster Press, ), 14.
[2]Ibid., 14-15.
[3]Ibid., 15.
[4]Alister McGrath, Christian Theology: An Introduction
(Oxford: Blackwell, 1997), 429
[5]Rupp dan Philip S. Watson (ed.), Luther and Erasmus: Free
will and Salvation, 15-16.
[6]Ibid., 16.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid., 17-18.
[10]Tony Lane, Runtut Pijar (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 132.
[11]Ibid., 132-133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar